Tuesday, June 21, 2011

PERUBAHAN IKLIM BERDAMPAK PADA SEKTOR KEHUTANAN ACEH

Ada apa dengan hutan Aceh?
Hutan merupakan asset multiguna yang tidak saja menghasilkan produk seperti kayu dan non kayu, namun juga memiliki nilai lain seperti pencegah erosi, menjaga sumber daya air dan penyerapan emisi karbon.

Namun sangat disayangkan, laju kerusakan hutan alam yang selama ini sebagai penyangga kehidupan terus meningkat dan telah dikategorikan sebagai hutan stadium kritis. Menurut Greenomic, rekontruksi di Aceh telah menciptakan rekor terbaru sebagai pemicu utama kehilangan tutupan hutan alam. Nilai ini belum ditambah dengan jumlah hutan Aceh yang telah rusak sebelumnya telah mencapai hampir dua juta hektar. (Serambi Indonesia, 9 Nov 2009). 

Penebangan haram yang terjadi dalam kurun waktu 10 tahun terakhir sulit diatasi bahkan semakin terang-terangan dilakukan oleh dokumen-dokumen resmi yang melegalisasi kayu-kayu haram tersebut di bawah perlindungan oknum aparat penegak hukum menyebabkan praktek haram ini semakin sulit diberantas. Puncak kehancuran hutan Aceh dibuktikan dengan terjadinya banjir bandang yang melanda tujuh daerah di Provinsi Aceh.

Terhitung dari tahun 1985 sampai dengan tahun 1997 telah terjadi pengurangan luas kurang lebih 270.347 ha atau 20.796 ha pertahun. Bahkan laju deforestrasi ini kian mengalami kenaikan yang cukup fantastis. Di tahun 2005-2006 diperkirakan deforestrasi hutan Aceh mencapai 266.000 ha. Nilai ini hampir setara dengan empat kali lipat luas negara Singapura. Pemicu kehancuran hutan Aceh salah satunya adalah proses rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh yang tidak mempunyai standart legalitas penggunaan kayu.

Laju kerusakan hutan ini jauh lebih tinggi dibandingkan kemampuan pemerintah dalam merehabilitasi lahan. Dengan laju kerusakan lingkungan yang terus meningkat, diperkirakan, bencana hidrometeorologi di Indonesia akan terus meningkat.

Kajian Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) tahun 2011 menyebutkan, tren bencana di Indonesia meningkat dari tahun ke tahun. Jika tahun 2002 hanya tercatat 190 kejadian bencana, pada 2010 terdapat 930 kejadian. Bahkan, tahun 2009 terjadi 1.954 kejadian. Dari total kejadian bencana itu, hampir 79 persen merupakan bencana hidrometeorologi, yaitu bencana yang terkait cuaca dan iklim. Bencana ini antara lain banjir, kekeringan, tanah longsor, puting beliung, kebakaran hutan dan lahan, serta gelombang pasang.

Seiring dengan kerusakan daya dukung ekologis, angka kemiskinan akan terus naik secara linear. Jika ini yang terjadi, maka kita akan menyaksikan kawasan-kawasan Aceh yang dahulunya makmur pada sector pertanian, saat ini sedang berubah secara perlahan menjadi kawasan miskin.

Tantangan kehutanan terhadap perubahan iklim
Dari semua permasalah yang terjadi, salah satu permasalahan lain di sektor kehutanan adalah dengan terbukanya kran investasi, terutama di bidang perkebunan kelapa sawit. Hingga kini, perkebunan sawit di Aceh telah mencapai 300.000 hektar di wilayah pantai timur dan barat, yang didominasi oleh perusahaan negara PT. Perkebunan Nusantara. (Data Dinas Perkebunan Prov. NAD, 2009).

Kehadiran perkebunan sawit selain menimbulkan konflik horizontal dan vertikal, juga menimbulkan ancaman serius bagi ekologi. Dampak negatif dari system monokultur pada perkebunan sawit berpengaruh kepada lemahnya daya serap air ke tanah dan terbatasnya persediaan air  bersih. Saat curah hujan tinggi akan menyebabkan banjir, dan jika curah hujan sedikit akan mengakibatkan kemarau. Tidak lancarnya proses hydrology, perubahan komposisi & intraksi species (terjadinya kompetisi, predator, dll), tingginya temprature permukaan air tanah (loss oxygen), rusaknya atau hilangnya rantai makanan, terjadinya perubahan pola tanam petani, ketidak-nyamanan lingkungan yang berdampak pada kesehatan lingkungan dan semakin sempitnya lahan-lahan masyarakat. (Sawit Watch, 2005). 

Laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menunjukkan, iklim global telah berubah. Pengaruh perubahan iklim menyebabkan pola curah hujan berubah. Tidak hanya tebal hujan yang berubah, intensitas, durasi, dan sebaran curah hujan juga berubah. Perubahan iklim global juga sangat memengaruhi perubahan pola aliran, seperti penurunan kecenderungan curah hujan tahunan.

Selain itu juga, menaikkan suhu bumi rata-rata 0,2 derajat celsius per 10 tahun atau 2 derajat celsius dalam 100 tahun. Kenaikan suhu sebesar itu menyebabkan kenaikan permukaan air laut setinggi 20 sentimeter. Demikian diungkap Kepala Pusat Studi Energi (PSE) UGM, Prof Dr Jumina, di kantor PSE UGM, Sekip Yogyakarta, Senin (11/4/2011).

Artinya, bumi tak akan lagi menjadi tempat hunian yang nyaman bagi manusia, hewan, maupun tumbuhan. Bahkan sangat mungkin manusia tak akan dapat bertahan hidup pada kondisi seperti itu.


Pentingnya kebijakan adaptasi pada sektor kehutanan
Pendidikan menjadi poin masuk yang penting untuk membangun komunitas yang peduli pada pengurangan resiko bencana yang diakibatkan oleh perubahan iklim.

Pemerintah seharusnya sudah mulai jeli dan harus berani dalam memainkan kebijakan atau regulasi di sektor kehutanan. Pemerintah tidak perlu ragu untuk memberlakukan Moratorium Hutan Aceh.

Mengingat status vital hutan yang ada di Indonesia, Kementerian Kehutanan adalah salah satu pemangku kepentingan utama dalam masalah perubahan iklim, membentuk sebuah Kelompok Kerja Perubahan Iklim Kementerian Kehutanan dibentuk dengan SK Menhut No. 13/Menhut-II/2009 tentang Pembentukan Kelompok Kerja Perubahan Iklim di Lingkungan Departemen Kehutanan. Kelompok Kerja ini dibentuk sebagai tindak lanjut hasil Konferensi Para Pihak Konvensi Perubahan Iklim ketigabelas di Bali. Berdasarkan COP 13 Bali tersebut perlu ditetapkan kebijakan pengelolaan hutan yang mengaplikasikan pengendalian perubahan iklim di bidang kehutanan. Kemudian dipandang perlu untuk membentuk kelompok kerja dalam rangka meningkatkan koordinasi perumusan, pelaksanaan, evaluasi dan revisi kebijakan pengelolaan hutan yang mengaplikasikan pengendalian perubahan iklim.

Keberhasilan target nasional tersebut juga tergantung pada pelaksanaan program lain terutama terkait kebijakan pemberdayaan masyarakat, tata kelola pemerintahan yang baik, tata ruang (terutama pengelolaan kawasan DAS), dan industri serta perdagangan hasil hutan, serta mendorong masyarakat melakukan penanaman pohon di sekitar kawasan hutan sebagai penyangga. Meningkatkan upaya pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan. Melaksanakan pengamanan hutan dan penegakan hukum bidang kehutanan.  Melakukan penghijauan dan reboisasi. Dan, membentuk Tim Provinsi dalam upaya menghadapi perubahan iklim.



Oleh: Muhammad Luthfi

1 comment: